Final Destination 5, Sekuel Mubazir Tapi Masih Bikin Ngeri
SAYA akan memulai review ini dengan sebuah pembelaan diri.
Beberapa hari sebelum Krisdayanti melahirkan, Raul Lemos meminta kakak iparnya, Yuni Shara, untuk menemani KD melahirkan. Karena Raul –yang berbadan tinggi tegap dan machonya minta ampun itu- merasa tak punya nyali yang cukup untuk melihat adegan penuh darah di ruang persalinan.
Raul saja ngeri melihat darah, apalagi saya yang bertubuh mungil dan tak berdaya. Maka, menonton Final Destination 5 adalah sebuah kesalahan bagi saya.
Dua minggu sebelum film ini tayang di bioskop lokal, beberapa kali saya bertanya pada teman. kapan Final Destination 5 diputar. Saya penasaran ingin menontonnya.
Dulu saya penggemar setia film thriller ini, dengan hanya melewatkan seri keempatnya. Saya masih ingat, di penjual DVD bajakan, di kota manapun, saya selalu menemukan film Final Destination 1-3 digabungkan dalam satu DVD dengan Scary Movie 1-4. Entah apa korelasi antara kedua film itu, tapi keduanya sukses jadi film favorit saya.
Tahun berganti tahun dan nyali saya untuk menyaksikan adegan penuh darah rupanya semakin ciut. Sampai akhirnya saya menyaksikan film berdurasi 92 menit ini.
Final Destination 5 dibuka dengan perjalanan sekelompok pegawai ke luar kota. Di antaranya ada Sam Lawton (Nicholas D’Agosto); Molly Harper (Emma Bell), pacar Sam yang minta putus hanya beberapa menit sebelum bis berangkat; sahabat Sam yang mirip Tom Cruise, Peter Freidkin (Miles Fisher); pacar Peter, Candice Hooper (Ellen Wroe); rekan kerja mereka, Olivia Castle (Jacqueline MacInnes Wood), Isaac Palmer (P.J. Byrne), dan Nathan Sears (Arlen Escarpeta); dan terakhir, bos mereka, Dennis Lapman (David Koechner).
Di tengah perjalanan saat melintasi jembatan North Bay, Sam merasa ada yang tidak beres. Jarinya tertusuk jarum, radio tiba-tiba memutar "Dust In The Wind", dan TV dalam bus mendadak renyek. Sam mengintip ke luar bis, para petugas kontruksi sedang sibuk memperbaiki jembatan. Tak ada yang tahu, ada retakan di permukaan jembatan yang semakin lama semakin melebar, hingga akhirnya jembatan terbelah menjadi dua.
Panik, seisi bus berhamburan ke luar. Sebagian berhasil menyelamatkan diri, sebagian lagi berakhir naas, terjun ke sungai bersama bus. Sam, Peter, dan Molly, berhasil menyeberang ke bagian lain jembatan. Sayangnya, Sam dan Peter mati tertancap tiang beton yang jatuh berhamburan, menyisakan Molly, satu-satunya korban selamat.
Bisa ditebak, seperti biasanya, adegan pembuka ini hanya mimpi semata. Lebih tepatnya, premonition alias firasat, benang merah yang menjadi ‘dagangan’ setiap seri Final Destination.
Dan, seperti biasanya juga, firasat ini terbukti hanya beberapa detik kemudian. Jari Sam tertusuk jarum, radio memutar “Dust In The Wind” dan gambar di TV mendadak buram. Sam yakin, apa yang ada dalam mimpinya akan jadi kenyataan. Sam panik dan segera mewanti-wanti seisi bis, tapi semuanya mengira Sam hanya mengigau.
Benar saja, tak berapa lama, jembatan retak dan terbelah dua. Tapi Sam berhasil menyelamatkan sebagian penumpang bis hingga menyeberang ke ujung jembatan. Lega, pasti, tapi pertanyaanya, bagaimana bisa firasat Sam begitu kuat? Sam, Peter, Molly, Candice, Olivia, Isaac, Nathan, dan Dennis tak tahu, mereka dibayang-bayangi kematian beruntun.
Di sinilah kengerian dimulai. Tubuh Candice mati terbelah saat latihan gymnastic, kepala Isaac pecah tertimpa patung Buddha saat akupuntur di spa, dan Olivia jatuh dari jendela ruang praktik dokter mata, dengan bola matanya terlepas lalu menggelinding di jalan dan dilindas mobil. Sisanya, pasrah menunggu giliran dijemput malaikat maut. Hingga akhirnya mereka bertemu seorang petugas otopsi misterius yang membocorkan cara untuk menghindar dari kematian.
***
Tulisan ini semestinya selesai akhir pekan lalu, saat pertama kali saya menonton film ini di jam midnight. Tapi tiap kali mulai menulis, saya selalu dibayangi adegan-adegan seram saat satu-persatu tokohnya dibantai maut.
Saya masih ingat bagaimana tubuh Candice jatuh dari palang sejajar dengan daging paha yang robek dan tulang kaki yang mencuat keluar, juga bola mata Olivia yang dilindas mobil, yang sama ngilunya dengan adegan mata kiri Aming diinjak hak sepatu Shareefa Daanish di film Rumah Dara.
Saya juga masih ingat bagaimana saya menghabiskan nyaris 70 persen dari durasi film dengan meringkuk seperti posisi janin, dengan mata terbuka atau tertutup.
Bagi Anda yang punya keberanian tinggi dan senang menonton film macam Saw atau sejenisnya, Final Destination mungkin bukan apa-apa. Terlebih lagi, jalan ceritanya nyaris sama persis dengan yang sebelum-sebelumnya. Mungkin di dunia slasher-thriller, Final Destination tak ubahnya seperti American Pie dalam takaran film semi-porno. Nggak ada apa-apanya. Sekali lagi, itu bagi Anda yang berani membuka mata lebar-lebar tanpa melewatkan sedetik pun adegannya.
Mengutip kata-kata seorang teman, “Final Destination 5 adalah sekuel yang tak perlu”. Ya, tak perlu, karena kami sudah hapal persis apa yang akan dialami para karakter di scene berikutnya.
Tapi, Anda yakin Final Destination 5 ini sebuah sekuel? Atau tepatnya, justru prekuel? (Wait, did I just spoil the surprise?)
(rere/ade)
Final Destination 5, Sekuel Mubazir Tapi Masih Bikin Ngeri
Reviewed by Admin
on
5:39:00 PM
Rating: