Jalan Berliku Menuju Ke Baitullah
DULU kita tak membayangkan pergi ke
Baitullah harus antre sampai bertahun-tahun. Begitu mendaftar dan membayar
lunas ongkos naik haji (ONH), langsung bisa berangkat.
Sekarang para calon jamaah haji (calhaj)
harus bersabar untuk bisa menunaikan rukun Islam yang kelima ke Tanah Suci.
Daftar tunggu (waiting list) dari tahun ke tahun makin panjang. Dengan kuota
haji Indonesia tahun ini yang mencapai 221.000 (201.000 untuk haji
reguler dan 20.000 untuk haji khusus), waktu tunggu bisa mencapai 10 tahun. Malaysia dengan kuota 70.000 jamaah, antrean bisa mencapai 15
tahun.
Makin banyak penduduk muslim yang makmur dan
terbatasnya kapasitas Tanah Suci untuk menampung lonjakan jamaah haji, membuat
calhaj di seluruh dunia harus makin bersabar. Kalau di zaman penjajahan Belanda
dulu, perjalanan ke Tanah Suci begitu lama karena hanya ada kapal laut,
sekarang kendalanya berupa kapasitas Tanah Suci yang terbatas.
Pemerintah Arab Saudi memang sedang
merenovasi Kota Makkah secara besar-besaran. Dalam program renovasi selama 50
tahun yang dicanangkan Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud, halaman Masjidil
Haram akan diperluas dan hotel-hotel baru dibangun. Tujuannya untuk
meningkatkan kapasitas masjid dan pemondokan jamaah.
Moda transportasi
Makkah-Mina-Musdalifah-Arafah juga ditambah dengan kereta api. Jamarat (tempat
melempar jumrah) pun dibuat makin bertingkat. MasÃa (tempat sa’i) juga sudah
diperluas dan bisa menampung sekitar empat juta jamaah.
Namun, tingginya minat kaum muslim untuk
pergi haji tetap saja menimbulkan persoalan di Tanah Suci. Selain masalah ruang
dan waktu, ada persoalan yang menyangkut kesiapan mental, fisik, dan kultur.
Dengan kesempatan yang makin sulit,
semestinya jamaah memanfaatkan jatah pergi haji lebih optimal. Sekali berhaji
seumur hidup sudah cukup, tentu saja haji yang berkualitas (bukan ’’haji
tomat’’ - berangkat tobat pulang kumat). Untuk bisa berhaji dengan sempurna,
kondisi fisik juga harus bagus, jangan menunggu usia tua.
Penyesuaian kultur jamaah dengan adat dan
kebiasaan di Tanah Suci kerap terabaikan, khususnya bagi jamaah perempuan.
Masih muncul cerita jamaah perempuan kita yang bercanda bebas dengan kaum
lelaki di sana atau berbusana tidak menutup aurat, hal yang tidak
sesuai dengan kultur hubungan laki-perempuan di Saudi. Juga ada jamaah perempuan
yang mandi bersama dan terlihat orang lain di Bandara King Abdul Aziz.
Pembinaan calhaj oleh kelompok-kelompok
bimbingan ibadah haji (KBIH) biasanya lebih menekankan manasik ibadah, kurang
menyiapkan jamaah untuk adaptasi diri dengan budaya kehidupan di Tanah Suci.
Akibatnya, masih sering terjadi kasus-kasus yang mencoreng nama baik bangsa.
Dari sisi penyelenggaraan, sesuai UU Nomor
13 / 2008 tentang Penyelenggaraan Haji, pemerintah lewat Kementerian Agama
sebagai regulator, operator, dan sekaligus eksekutor terlihat kelebihan beban.
Dari tahun ke tahun, tetap saja kelemahan dan kekurangan dalam penyelenggaraan
haji belum juga teratasi. Tahun lalu, selain 48 titik kelemahan temuan KPK yang
berpotensi korupsi, masih banyak kekurangan yang mesti diperbaiki.
Cakupan manajemen haji yang meliputi
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jamaah perlu peningkatan terus
menerus. Jamaah haji adalah tamu Allah. Mereka sudah membayar ongkos yang
mahal. Mengurus banyak orang dengan dana yang begitu besar memerlukan manajemen
yang ketat, transparan, dan akuntabel.
Sepanjang penyelenggara mampu mengedepankan
transparansi dan akuntabilitas, maka jamaah dijamin akan terlayani dan
terlindungi dengan baik.
Labbaik Allahumma labbaik...
Standardisasi Bimbingan
- Hartono Harimurti
MARAKNYA penyimpangan yang dilakukan
kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) harus segera dicarikan solusi. Solusi
itu, kata Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag, H Slamet
Riyanto, standarisasi pembimbing haji, mendesak untuk dilakukan. Pihaknya siap
bekerja sama dengan masyarakat yang menyelenggarakan bimbingan haji.
Sebab posisi para pembimbing haji sangat
strategis. ''Membekali para pembimbing dengan pengetahuan-pengetahuan mendasar
dan standar tentang peraturan perundangan di Indonesia maupun Arab Saudi, juga
adat istiadatnya, teknis penyelenggaraan ibadah haji, serta penguasaan ilmu
manasik yang memadai, harus dilakukan," kata pria asal Majenang, Cilacap tersebut.
Menurut Slamet, pihaknya sangat menginginkan
para jemaah haji Indonesia yang mandiri. Dengan demikian, mereka tidak
tergantung kepada pembimbing, yang akhirnya justru mengganggu ibadah mereka.
Slamet mensinyalir, masih ada saja pembimbing yang justru membuat
ketergantungan jamaah calon haji makin besar kepada mereka. Kalau itu yang
terjadi, kondisi tersebut jauh panggang dari api, seperti tujuan Kemenag yang
berharap agar jemaah haji makin mandiri. Baik dalam hal pelaksanaan ibadah,
selama perjalanan dari Tanah Air, selama di Tanah Suci, hingga kembali ke Tanah
Air lagi.
Menurutnya, dengan cara mandiri membuat
calon haji merasa tidak was-was dan ragu-ragu. Dengan demikian, ibadahnya lebih
khusyuk. ''Kalau khusyuk dan tenang, itu lebih terbuka peluang untuk mabrur.
Kalau sudah sangat tergantung pembimbing, maka sedikit-sedikit ragu, was-was,
bingung.''
Ditambahkan, menciptakan haji mandiri bukan
berarti pemerintah lepas tangan. Sebab, pemerintah tetap menyiagakan petugas.
Namun yang harus dipahami, jumlah petugas dari Tanah Air dibatasi, sehingga
tidak semua jamaah dilayani dengan baik. "Kalau mandiri, maka ibaratnya
ada masalah yang menimpanya bisa tahu bagaimana prosedur untuk mengatasinya
saat belum ketemu petugas. Kalau sudah ada petugas pasti kita layani, kita
atasi masalahnya, petugas kita sudah punya protap untuk itu," katanya. (09)
Bisnis Dulu, Ibadah Kemudian
- Hartono Harimurti dan Muhammad Syukron : Pemerintah Lemah Awasi KBIH
”Saya sedikit kecewa dengan KBIH itu. Belum
masuk bimbingan sudah dilempar ke KBIH lain, katanya KBIH itu kehabisan kuota
pemberangkatan. Tapi untungnya, di KBIH yang baru justru diperhatikan.”
SEJENAK lelaki itu kemudian terdiam sambil
menghisap rokok filternya dalam-dalam. Setelah hisapan ketiga, bapak dua anak
itu kembali menceritakan sebuah kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) yang
awalnya ia percaya sebagai lembaga yang sukses dalam setiap penyelenggaraan
ibadah tahunan itu.
''Biarlah nama lembaga itu tersimpan saja
dalam memori pahit saya. Yang penting, saya bisa melaksanakan rukun Islam
kelima itu dan mendapat perhatian yang bagus dari KBIH yang baru,'' tutur H
Teguh Prihanto (41) warga Perumahan Gedang Asri Jl Kalimantan Raya 296
Kelurahan Gedanganak, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang yang enggan
menyebut nama KBIH bermasalah itu, Jumat (16/9).
Diceritakan, ketika bergabung dengan KBIH
yang ada di Kecamatan Semarang Selatan, awalnya ia ketahui dari seorang
kenalan. Teguh mendaftar bersama sembilan temannya. Meski telah membayar uang
muka Rp 750 ribu, ia mengaku belum mendapatkan bimbingan tahapan-tahapan dalam
ibadah haji.
''Sebagai korban, namun justru saya
tertolong. Ini bisa menjadi pengalaman calon jamaah haji lain agar mewaspadai
KBIH yang tidak beres. Jika sudah niat beribadah haji dan ingin mendapat
bimbingan dari KBIH, mintalah pengalaman kepada tetangga yang sudah berhaji,''
papar pria yang akrab disapa Mas Bobi itu.
Lain Bobi, lain pula cerita Hj Darmi. Warga
Cibubur Jakarta Timur itu juga punya pengalaman kurang enak. Selain penyampaian
bimbingan kurang tuntas, dirinya juga dipaksa membeli susu dan vitamin.
''Padahal belum tentu cocok sama selera saya. Nggak beli nggak enak sama
pembimbing. Kalau nggak mau repot seperti saya, jangan ikut KBIH itu,"
kata Hj Darmi.
Sementara itu Hj Rini, menginformasikan
kepada tetangganya bila bila ingin ikut KBIH, dia selalu mengarahkan ke
pembimbing yang pernah dia ikuti di Kota Bekasi. "Biayanya murah, materi
bimbingannya jelas, nggak ribet, ustadz pembimbingnya enak, dan ada upaya untuk
mengompakkan kita sebelum haji, juga menguatkan tali silaturahmi setelah
haji," kata ibu rumah tangga warga Bekasi tersebut.
Dari beberapa cerita tersebut menunjukkan
kesan berbeda terhadap KBIH yang mereka ikuti. Pernyataan satu bernada
peringatan, sementara pernyataan kedua bernada promosi.
Dalam perspektif yang lain pernyataan
pertama secara tersirat menunjukkan KBIH yang bisnis oriented, dalam arti
banyak ditumpangi berbagai bisnis. Sedangkan pernyataan kedua, menunjukkan KBIH
yang proporsional. Proporsional dalam arti, KBIH itu memang melaksanakan fungsi
sebagai pembimbing calon haji. Dan kalaupun ada harus beli ini dan itu, masih
dalam porsi wajar, sehingga tidak memberatkan.
Hanya saja, proses dan tahapan beribadah ke
Tanah Suci itu, bukanlah hal yang mudah dilakukan bagi masyarakat awam dan
tidak memiliki ilmu tentang haji. Salah rukun saja, menjadikan ibadah yang
membutuhkan biaya tidak sedikit itu tidak sah.
Sebab, kata Bobi, selain berharap menjadi
mabrur atau yang seluruh syarat rukunnya diterima oleh Allah Swt, tentu
menjadikan seluruh tahapan itu berjalan baik dan tidak ada hambatan, menjadi
harapan bagi seluruh calon haji.
''Misalnya saja, ketika wukuf di Arafah.
Bagi perempuan, rambut dan telapak tangan tidak boleh kelihatan, tapi
kebanyakan justru melepas kaos tangan. Jika ikut KBIH yang berpengalaman, hal
itu sangat diperhatikan. Karena, ketua atau pengasuh KBIH biasanya menjadi
ketua rombongan (karom),'' jelas General Manager Rasika Group itu.
Di KBIH, seluruh jamaah tidak dipusingkan
dengan harus membawa koper untuk dikumpulkan di bagian pemberangkatan haji.
Pasalnya, KBIH lah yang justru mengepul barang-barang milik jamaah. Ketika tiba
di Makkah, jamaah pun tidak repot mencari jalan di tengah berjubelnya lautan
manusia dari seluruh dunia, maupun keinginan mencium Hajar Aswad.
''Saya pernah ikut KBIH yang baik,
pimpinannya justru sampai membantu kebutuhan saya dan perempuan lain yang
seusia saya yang sudah tua, seperti membawakan sandal ketika saya harus ditandu
ketika tawaf,'' tutur Rohana (84) warga Kelurahan Mugasari, Kecamatan Semarang
Selatan.
Ya, itulah alasan utama para calon jamaah
haji ikut KBIH yang menginginkan bimbingan, pendampingan, dan layanan yang
prima. Umumnya, mereka adalah jemaah yang belum pernah pergi haji.
Alasan lainnya tentu karena kebanyakan
mereka masih awam tentang ilmu manasik haji sehingga harapan mereka terhadap
KBIH begitu tinggi supaya mereka dapat menggapai haji mabrur. Selain itu, para
jamaah juga tidak mengerti prosedur pendaftaran dan tetek bengek lain yang
berhubungan dengan urusan administrasi seperti pendaftaran SPIH, pengurusan
paspor, pembukaan rekening haji, dan sebagainya.
Untuk kemudahan ini, mereka lalu rela
membayar berapa saja ke pihak KBIH agar perjalanan haji menjadi mudah, lancar
dan selamat mulai dari pemberangkatan hingga pemulangan ke tanah air.
Hj Kasiyati (41), pemilik KBIH Al
Mufti Jl Madukoro, Perumahan Semarang Indah Blok D5/I menjelaskan,
dalam mengelola lembaga bimbingan ibadah haji yang dibutuhkan, keikhlasan.
Selain mendukung pemerintah dan masyarakat, nilai ibadah membantu seseorang
yang membutuhkan, menjadi hal yang harus diutamakan di atas kepentingan yang
lain.
''Saya tidak sepakat kalau ini sebagai
bisnis, calon jamaah haji yang bergabung dengan KBIH Al Mufti hanya membayar Rp
1,5 juta. Kalau memang tidak mampu, kurang dari itu saja kami terima. Awal kami
mendirikan KBIH pada 2002 atas dasar ibadah saja,'' tutur istri KH Syarief
Hidayatullah itu, kemarin.
Dalam merekrut calon jamaah pun, pihaknya
tidak pernah memasang iklan, ataupun melalui surat. Sistem gethok tular dan cerita pengalaman jamaah
haji yang pulang dari Tanah Suci kepada saudara ataupun teman itulah yang
membuat lembaga itu menjadi salah satu KBIH yang memiliki nilai plus.
Dijelaskan, setiap calon jamaah yang
bergabung dengan lembaganya akan mendapatkan bimbingan baik teori maupun
praktik manasik haji 10 hingga 12 kali.
''Semuanya kita tawarkan kepada jamaah,
mereka ingin belanja, atau ziarah, kita tinggal mendampingi saja tanpa ada
tambahan biaya apapun.''
Kelemahan Pemerintah
Bicara tentang KBIH, maka kita akan
berbicara tentang kelemahan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dalam
memberikan pelayanan kepada warga yang ingin berhaji. Apalagi bagi yang pertama
berhaji, sangat penting untuk mendapat bimbingan.
Hanya saja harus diakui, jangkauan pelayanan
dari aparat pemerintah sangat terbatas. Sebagai gambaran, aparat yang mengurus
haji hanya sampai tingkat KUA kabupaten-kota dan sudah disibukan dengan hal-hal
yang bersifat administratif.
Inilah yang membuat pemerintah membuka
kesempatan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan bimbingan calon haji.
Maka lahirlah KBIH-KBIH.
Namun dalam perjalanannya, banyak sekali
kepentingan bisnis yang menumpang dalam kegiatan bimbingan tersebut. Bahkan
terkadang, unsur bisnis lebih dominan menumpang daripada bimbingan. Lalu
muncullah ungkapan sinis dari masyarakat, bahwa KBIH bukan lagi kelompok
bimbingan ibadah haji, tapi menjadi kelompok bisnis ibadah haji.
Lalu mengapa begitu banyak calon haji yang
ikut KBIH, dan seakan program bimbingan manasik yang dilakukan KUA kurang
diminati?
Menurut Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia (IPHI) Mayjen TNI (Purn) H Kurdi Mustofa, maraknya calon haji
mengikuti bimbingan di KBIH dibandingkan bimbingan yang dilakukan
KUA, karena pemerintah tidak menjadi pemimpin
di sektor ini. Oleh karena itu, menurutnya, IPHI proaktif memberikan masukan
kepada pemerintah. Akhirnya dalam pelaksanaan musim haji tahun 2011 mengalami
perubahan dalam pembinaan dan bimbingan calon jamaah haji (CJH).
Jika sebelumnya manasik haji hanya digelar
di tingkat kab/kota, maka pada musim haji tahun ini akan digelar hingga tingkat
kecamatan.
Perubahan ini, menurutnya, sebagai tindak
lanjut kesepakatan MoU antara IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) dan Kementerian Agama RI. Diharapkan para CJH Indonesia semakin mandiri dalam
melaksanakan ibadah haji.
Ditambahkan, peningkatan bimbingan manasik
dan manasik haji sangat diperlukan, mengingat sebagian besar (hampir mendekati
60 persen, Red) persen calon haji Indonesia pendidikannya rendah, yaitu tidak
tamat dan tamat SD/MI.
Dari pengamatan Suara Merdeka, memang ada
beberapa aparat KUA yang memberikan bimbingan terkesan tidak lengkap dan justru
malah mempromosikan calon haji untuk bergabung kepada KBIH tertentu.
Hingga muncul bahwa aparat KUA adalah marketing KBIH tertentu. Namun bila
aparat KUA begitu intens memberikan bimbingan kepada calon haji, maka dianggap
KBIH-KBIH sebagai saingan, sehingga muncullah istilah KBIH pelat merah.
Sumber : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/18/159590/Jalan-Berliku-Menuju-ke-Baitullah, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/18/159589/Standardisasi-Bimbingan, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/18/159588/Bisnis-Dulu-Ibadah-Kemudian
Jalan Berliku Menuju Ke Baitullah
Reviewed by Admin
on
5:19:00 PM
Rating: